Untuk Kau, Orang Kaya !



Seorang dosen berkata, “Untuk masuk SD xxxx (nama sekolah swasta), mahal sekali.  Siswanya dari anak orang kaya, dan gurunya pun memang berkualitas. Hanya untuk biaya pendaftarannya saja tujuh belas juta rupiah.” Sontak sekelas ber-woow takjub. Tapi tidak denganku. Aku yang dulu menduduki bangku SD negeri yang biasa saja dan aku juga dari keluarga miskin. Yah, memang demikian begitu adanya. Di rumahku dulu tak punya listrik, di saat anak orang kaya seperti kalian berkenalan dengan komputer, aku harus belajar di bawah temaram lampu minyak. Di kala kalian tertawa riang dengan mainan mewah kalian, aku dan teman-temanku sibuk dengan bermain tanah yang disebut kotor dan berkuman itu. Karena faktor ekonomi itulah aku memang tak pernah mencicipi belajar di sekolah elite.
 Kalimat “Siswanya dari anak orang kaya, dan gurunya pun memang berkualitas” begitu menghancurkan hatiku. Bagaimana dengan anak miskin seperti aku ? tak pantaskah mendapat guru hebat nan berkualitas itu.  Guru-guru anak orang kaya itu senang melihat muridnya yang bersih dan rapi dan akan merasa agak jijik dengan ingus kami, dengan pakaian kumuh kami. Tak ada anak yang mau terlahir miskin. Kami pun mau diajarkan guru berkuaitas. Kami juga mau mengenal dunia.
Kami pun mau jadi orang hebat. Tapi apa daya. Kadang kami iri pada orang kaya itu. Kadang kami sampai tidak suka punya orang tua miskin. Tetapi untuk makan dan sekolah kami yang sangat murah bagi kalian, orang tua kami harus banting tulang menjadi babu di rumah kalian. Lalu bagaimana dengan semangat belajar kami ? sepertinya pantas kami tidak sepandai kalian, sekeren kalian. Toh, kami tidak punya fasilitas seperti kalian kan? Kalian salah jika berpikir demikian. Kami punya semangat yang luar biasa untuk belajar. Bahkan tak jarang diantara kami anak miskin bekerja seperti berjualan makanan, upahan mencuci, dll, hanya untuk bisa membeli buku, atau untuk mendapat uang saku dan bahkkan untuk dapat les tambahan di luar sekolah, tentunya hanya tempat tempat kursus sederhana dan guru seadanya.Semetara kalian di sana bermalas-malasan, mengeluh banyak PR. Kami mau terus belajar, kami mau mengerjakan banyak PR tanpa harus memikirkan dari mana uang datang. Kami mau membeli ini itu tanpa harus mengingat bahwa ayah ibu kami tak punya uang. Tapi nyatanya, tak sedikit dari kami harus berhenti di tengah jalan karena tak punya uang. Banyak juga teman-temanku harus menjadi pembantu di rumah orang kaya untuk menyambung hidupnya dan keluarga. Dan menjadi pencopet, pencuri, pemulung, pengemis, dan pekerjaan rendahan dan hina lainnya tak bisa dihindari memjadi profesi kami. Sedangkan kalian jijik pada kami, cemooh dan caci maki kalian lontarkan seenaknya. Terima kasih.

 
Kalaupun kami tak bisa sekolah setinggi mungkin, kalau pun kami tak bisa jadi orang hebat di negeri ini. Kami titipkan nasib anak cucu kami dan negeri ini padamu, wahai orang hebat ! do’a dan harapan kami curahkan untuk kalian. Tapi kalau kalian mengkhianati bangsa ini, sumpah serapah dan kutukan dari kami akan menghantui hidupmu.

Palembang. 21 Maret 2014
Menulis dalam linangan air mata 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Rindu

Cerpen: Kebetulan

Seleksi Adminitrasi LPDP, Hanya Dokumen Tapi Ribet?