Cerpen: Kebetulan

Ilustrasi: Sri Wahyuni


“Nomor antrian A 12 silahkan menuju teller 1”
   Suara khas di bank menyebutkan nomor antrian. Hawa melirik secarik kertas di tangannya. A 25, masih jauh sekali, pikirnya. Kebiasaannya saat menunggu, menggeser-geser layar smartphone sampai akhirnya Hawa menyadari seseorang menarik-narik tasnya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan wajah yang sangat familiar.
“Adam, baru mau bayar UKT juga?” Hawa bertanya dengan sumringah.
“Iya nih, setiap semester bayar UKT mepet deadline terus.”
 “Kok bisa barengan sih? Kebetulan, ya.”
Dari sekian banyak tanggal pembayaran UKT, mengapa harus di hari yang sama?
Pertanyaan yang membuat hati Hawa berbunga.

    Kuliah di semester akhir membuat Hawa membatasi kegiatannya di organisasi. Hanya sesekali ia hadir di kegiatan organisasi. Di acara bakti sosial, Hawa terdiam sejenak mendengar seruan temannya.
“Hawa, kok bisa-bisanya salah kostum? Harusnya hari ini pakai baju putih. P-U-T-I-H. Kamu malah pakai batik. Kompak pula dengan Adam. Kok bisa?” Tere mengomel.
Hawa hanya nyengir, tapi dalam hati juga bertanya, “Kok harus sama gini dengan Adam.”
Di perutnya seperti ada kupu-kupu yang berputar. Kebetulan ini sepertinya tak main-main.

   Malam senin, Hawa sibuk dengan lembaran skripsinya. Panik sekali saat menemukan tulisan di kertas putih itu terputus-putus. Tinta printer habis. Hawa ketar-ketir, besok pagi-pagi sudah harus menghadap dosen pembimbing. Hawa meraih smartphone-nya. Mengetik pesan ke beberapa teman yang bisa membantu kesulitannya. Tapi pesan itu tak juga terkirim. Hawa menepuk jidatnya, “Ya ampun, kuota internetku habis!”

  Hawa berniat keluar kamar, berharap bisa mendapat bantuan dari teman di kamar lainnya. Sebelum gagang pintu itu digerakkan, HP Hawa bergetar. Telpon dari Adam. Setelah Hawa mengucapkan “Halo”, Adam meluncurkan kalimat pamungkas.
“Skripsinya sampai mana? Jangan banyak alasan. Nanti aku wisuda duluan loh.”
“Iyaaaa, bawel.”
“Sampai mana skripsinya sekarang?”
“Sampai tinta habis.”
“Hah?”
“Iya, aku lagi nge-print, tinta habis nih. Padahal besok pagi harus bimbingan.”
“Yasudah, aku belikan sekarang.”

   Hawa sedang panik, butuh bantuan, kebetulan sekali, Adam tiba-tiba menelpon.
Bagaimana mungkin Hawa bisa mengabaikan banyak kebetulan yang terjadi di antara mereka. Bahkan nama  Adam dan Hawa membuatnya tersanjung. Bagi Hawa semua kejadian yang tampak “kebetulan” pasti ada isyarat dari Tuhan. Ia yakin ada suatu takdir antara dirinya dan Adam. Kadang ia tak sabar ingin mendapatkan jawaban atas semua kebetulan yang terjadi.

   Hari itu, di bawah gerimis sore, sebuah jawaban akan datang menghampiri Hawa.
Sebuah notifikasi chat masuk di Whatsapp. Nama Adam tiba-tiba muncul setelah beberapa bulan absen dari keseharian Hawa.

Adam: “Wa, kamu mudik gak?”
Hawa:  “Gak mudik. Gara-gara Corona. Hiks..  ๐Ÿ˜ข๐Ÿ˜ข ”
Adam: “Sama. Kebetulan aku juga gak mudik.”
Hawa tersenyum bahagia, lalu bergumam, banyak sekali kebetulan antara kita.

Belum sempat Hawa membalas, pesan susulan dari Adam masuk lagi.
Adam: “Aku bahkan menunda akad nikah Jumat depan.”
Roman muka Hawa berubah, hatinya gaduh.
Dengan mata yang mulai terasa basah, Hawa mengetik balasan.
Hawa: “Akad? kok gak pernah cerita?”
Penjelasan dari Adam mengalir satu per satu bersamaan dengan air mata Hawa yang mengalir.

   Tidak semua kebetulan harus menjadi betulan. Percakapan petang itu menjawab semua rentetan peristiwa kebetulan terdahulu. Hawa sadar, ia keliru mengartikan “kebetulan”. Benar, kebetulan ini adalah takdir. Namun, bukan isyarat bahwa Adam dan Hawa akan hidup bersama. Hati yang patah bukan karena “kebetulan” yang salah, tetapi Hawa meletakkan harapan pada tempat yang salah. Adam tak pernah berjanji apapun, hanya saja Hawa dibuai oleh harapannya sendiri.

Pagi hari, April 2020
-Cicik Rhona-

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Rindu

Seleksi Adminitrasi LPDP, Hanya Dokumen Tapi Ribet?