Kita Berjuang Bersama, Mengapa Hanya AKU yang GAGAL?
Pintu Kereta Rel Listrik (KRL)
terbuka menampakkan para penumpang yang berdiri. Tak ada pilihan, aku langsung menerobos
masuk dan ikut berdesakan. Kutatap pegangan di langit-langit kereta yang tak nyaman
untuk tubuhku yang pendek, maka kuputuskan berdiri tanpa pegangan dan sandaran.
Perlahan kulepas ransel berat di punggung dan kuletakkan di lantai kereta.
Peluit panjang KRL berbunyi diikuti kereta yang mulai bergerak dari Stasiun
Manggarai. Pandanganku berputar mengamati wajah-wajah lelah penumpang. Tak ada
percakapan. Bunyi kereta, pengumuman petugas KRL dan angin malam yang dingin menambah
kesyahduan malam itu.
![]() |
Ini Stasiun Tabah Abang, bukan Manggarai |
Kereta akan berhenti di stasiun Cikini
dan tubuhku ikut terhuyung ke depan. Sebelum terjatuh, secepat kilat aku
berpegangan pada tas seseorang di depanku. Seseorang yang menjadi teman
seperjalanan beberapa hari ini. Berjuang bersama untuk mendapatkan impian
kami. Kuhirup napas dalam-dalam dan
bayangan berbagai perjuangan masa lalu itu berputar. Di bawah terik matahari,
aku dan temanku menuju sebuah desa untuk menggali cerita sebagai bahan untuk Lomba
Tutur Cerita Rakyat di Ibu Kota Provinsi. Dari orang sepuh di desa itu kami
dapati asal usul nama Desa Saung Naga. Saung berarti sarang/rumah/sangkar. Cerita
yang berkembang di seantero desa adalah kisah seekor naga yang berdiam di desa tersebut, tepatnya di
goa-goa dekat sungai. Sayangnya, kami hanya dapat memandang sungai dari jembatan
tanpa melihat sarang naga, apalagi naga aslinya. Setidaknya, legenda itu akan
dibawakan di pentas lomba oleh temanku. Sedangkan aku akan membawakan cerita
yang lain.
Setelah berlatih berhari-hari,
kami tampil di hadapan dewan juri. Di antara kerumunan peserta dengan baju adat
daerah masing-masing, aku duduk menahan perut yang sakit karena gugup. Juri
mengumumkan para juara yang disambut tepuk tangan meriah. Aku bersorak gembira
saat nama temanku disebut sebagai pemenang dan aku masih setia berharap namaku
adalah selanjutnya. Sayang seribu sayang, sampai juri itu turun dari panggung,
namaku tak jua disebut. Kepulanganku membawa kecewa. Kita berjuang berdua,
mengapa kamu menang sendirian?
Tubuhku bergeser paksa. Penumpang
yang baru masuk menambah sesak KRL. Lagi, aku memegang tas seseorang di
depanku. Teman seperjalanan, akankah kamu menang sendirian juga nantinya?
Suara petugas KRL menggema memberitahukan bahwa kereta akan mencapai Stasiun Gondangdia. Rupanya kaki ini masih harus bersabar berdiri hingga ke stasiun tujuan. Kualihkan pandanganku tertuju seorang gadis dengan ransel dan buku di tangannya mendekat ke pintu kereta. Rambut sebahunya bergoyang mengikuti irama gerakan kereta. Kutebak ia seorang mahasiswa. Pasti melelahkan pulang semalam ini apalagi di rumah masih harus mengerjakan tugas. Dari kampus manakah dia? Apakah kampus yang memang ia inginkan? Aku dulu punya kampus idaman yang kukejar mati-matian. Masa-masa SMA kulewati dengan belajar bersama teman-teman. Tak cukup di sekolah, ke rumah guru pun kami datangi. Hasilnya, teman-temanku lulus di kampus idamannya, tetapi aku tidak. Kita berjuang bersama, mengapa aku gagal sendirian?
“Mbak, kita berhenti di stasiun
apa?” suara teman seperjalananku membuatku menoleh. “Stasiun Juanda” jawabku singkat. Apakah kamu akan meninggalkanku gagal sendirian juga
nantinya?
Adzan magrib sudah lama
berkumandang, malam terus merayap, tapi gerbong ini tak pernah sepi. Kuraih
handphone dari ransel hitamku. Jari-jariku bergerak lincah membuka obrolan di
grup whatsapp. Grup persiapan tes
CPNS itu tak pernah sepi, pertanyaan, curhat, dan pembahasan soal cukup membuat
puluhan notifikasi setiap hari. Kupelajari satu per satu. Kegagalan tes CPNS
sebelumnya mendorongku untuk bergabung di grup ini. Tahun lalu, aku pernah mati-matian
menghapalkan UUD 1945 sambil menunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta. Dengan
usaha terbaik aku siap bertempur melawan soal tes CPNS. Di Jakarta aku menginap
di rumah kontrakan teman lama. Mereka tinggal berdua dan sama sepertiku,
pejuang CPNS juga. Kami saling menyemangati satu sama lain, tetapi akhirnya mereka
berdua lulus dan aku gagal. Kita sama-sama berjuang, mengapa kalian lulus dan
aku tidak?
“Mbak, sepertinya barusan kita
melewati stasiun Gambir. Kita berhenti di stasiun berikutnya kan?” tanya teman
seperjalanku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Teman seperjalanan, beberapa
bulan ini kita belajar bersama, melewati kesulitan bersama, apakah kamu juga
akan meninggalkanku gagal sendirian?
Kereta berhenti di stasiun Juanda. Kami bersiap-siap turun melanjutkan perjalanan menuju Masjid Istiqlal. Kuangkat ransel hitamku seraya berdo’a, “Tuhan, setelah perjuangan yang melelahkan ini. Kumohon berikan kekuatan jika aku gagal dan teman seperjuanganku berhasil. Aku percaya, takdirmu selalu baik.”
Kereta berhenti di stasiun Juanda. Kami bersiap-siap turun melanjutkan perjalanan menuju Masjid Istiqlal. Kuangkat ransel hitamku seraya berdo’a, “Tuhan, setelah perjuangan yang melelahkan ini. Kumohon berikan kekuatan jika aku gagal dan teman seperjuanganku berhasil. Aku percaya, takdirmu selalu baik.”
"Berjuang bersama bukan berarti harus sampai di waktu yang sama. Kadang kita ditakdirkan Tuhan untuk menemani dan mengantarkan seseorang pada tujuannya, sedangkan kita masih harus berjalan, memutar sebentar, lalu sampai pada ketetapan-Nya diwaktu yang tepat."
![]() |
Teman seperjalanan |
Catatan perjalanan Desember 2019
Kereta Tangerang-Jakarta
Komentar
Posting Komentar