Senandung Rindu
Teruntuk Leshy Lovita
Allahumma innaka
ta'lamu anna hadzihil qulub, qadijtama-at 'alaa mahabbatik, wal taqat 'alaa
tha'atik, wa tawahhadat 'alaa da'watik, wa ta ahadat ala nashrati syari'atik.
Fa watsiqillahumma rabithataha, wa adim wuddaha, wahdiha subuulaha, wamla'ha
binuurikal ladzi laa yakhbu, wasy-syrah shuduroha bi faidil imaanibik, wa jami'
lit-tawakkuli 'alaik, wa ahyiha bi ma'rifatik, wa amitha 'alaa syahaadati fii
sabiilik. Innaka ni'mal maula wa ni'man nashiir.
Bibirku perlahan melafaskan do’a
robithoh pagi ini. Mungkin karena rasa rindu maka yang terbayang adalah
wajahmu. Melalui do’a robithhoh ini kuberharap meski sulit untuk bersua, semoga
Allah mengikat hati-hati kita dalam naungan cinta-Nya.
Aku lupa kapan pertama kali kita
saling menyapa. Yang kuingat hati kita sudah bertaut begitu saja. Di masa putih
abu-abu, ketika semangat belajarmu menyala-nyala, dirimu rutin bertandang ke
rumah. Kadang kau datang sendirian, pernah juga ibumu setia mengantar jemput.
Belajar matematika, bahasa inggris, atau apalah itu namanya. Namun, ingatkah
engkau kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling bercerita hingga larut
malam. Bahkan akan bersambung di sekolah. Mungkin tampak sia-sia, tapi tidak
bagiku. Aku pertama kalinya berani menumpahkan cerita sebanyak itu pada orang
lain. Kau memberitahuku rasanya punya teman selain buku harian. Terima Kasih.
Mendekati kelulusan SMA, kita semakin
gencar belajar dan membidik tujuan selanjutnya. Masih jelas di ingatanku kau
begitu gencar mencoba mendaftar di sekolah-sekolah elit. Bolak-balik kau
menemuiku demi memperbaiki tulisanmu sebagai syarat seleksi. Namun, Tuhan punya
rencana lain. Kita berdua gagal hampir di setiap seleksi di perguruan tinggi yang
kita inginkan. Tanpa arah. Kita mencoba mencari ketenangan di rumah Allah.
Taman di Islamic Centre menjadi saksi bisu saat kita meraung,
menyalahkan Tuhan yang memberikan nasib atas usaha yang telah kita lakukan.
Perih, malu, bingung. Saat teman-teman tersenyum bahagia siap mendaftar ke
kampus ternama, kita rasanya tak sanggup untuk sekedar melangkahkan kaki ke
luar. Kadang kita merasa Tuhan sungguh tak adil.
Dengan berat hati kita mendaftar ke
IAIN Raden Fatah. Kita berangkat ke Palembang bersama. Mengikuti serangkaian
seleksi hingga dinyatakan lulus bersama. Belajar di jurusan yang berbeda
membuat kita mulai jarang bersua. Walaupun sudah diterima kampus Islam
tersebut, diam-diam kita masih menyimpan keinginan untuk ikut seleksi STAN
(Sekolah Tinggi Akutansi Negara). Hari berganti hari hingga di suatu malam kau
menelponku memberi kabar yang menghancurkan hatiku. Katamu, tahun itu STAN
resmi tidak membuka pendaftaran. Air mata ini tak bisa ditahan, tumpah juga.
Hati mana yang tak sakit, impian terbesar dalam hidup itu lepas sudah sebelum
kita mencoba. Kalah sebelum berperang.
Aku memulai mencoba ikhlas. Menerima
apa yang Tuhan berikan. Allah memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita
inginkan. Lalu kita menjalani aktivitas seperti biasa. Kuliah di IAIN membuatku
terpaksa membaca buku-buku Islam. Kadang hanya sebatas tuntutan untuk ujian,
tanpa pengamalan. Misalnya, berjilbab menutupi dada. Meskipun aku hapal itu
perintah Allah dalam Q.S Al- Ahzab: 59, tetap saja aku berjilbab tipis dan
pendek. Kemudian di suatu sore, aku berpapasan denganmu saat hendak pulang. Kau
sore itu begitu anggun dengan jilbab lebar. Penampilan baru, kataku. Dengan
tersenyum kau sampaikan, mumpung masih sempat untuk mengubah diri. Kita tak
bisa berkata apa-apa kalau Allah sudah memanggil. Aku tersenyum dan pamit
pulang. Ucapanmu tak bisa kulupakan begitu saja. Kalimat itu terngiang-ngiang
hingga beberapa hari. Akhirnya aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku
masih menghindar dari perintah Allah? Kumantapkan niat untuk hijrah menjadi
lebih baik. Allah pilihkan dirimu untuk menyentuh hatiku yang keras membatu.
Rasanya ini pertama kali kuakui padamu bahwa kau adalah titik awal yang
mendorongku untuk hijrah hingga seperti sekarang ini. Terima kasih.
UNI ECI
Begitu panggilan sayangku padamu
Sepertinya Allah memang inginkan kita
bersama. Tahun kedua dan ketiga kuliah kita akhirnya tinggal satu atap. Setiap
detik kita bercerita ini-itu setiap hari. Kita bisa menceritakan apa saja.
Mulai dari bercerita aktivitas, rencana ke depan, mimpi saat tidur, ilmu baru,
sampai membicarakan orang lain. Astagfirullah....
Bukan suatu kebetulan kita tinggal
bersama. Allah ingin aku belajar lebih baik darimu. Entah kenapa, setiap
perbuatan yang kau lakukan dalam rangka menjadi lebih baik akan lebih cepat
menyentuh hati.
Aku kadang menunduk malu saat
menyaksikan kau berdo’a begitu panjang selepas solatmu. Sedangkan aku hanya
membaca do’a untuk kedua orang tua.
Kau juga begitu dekat dengan
Al-Qur’an berwarna biru itu. Entah beberapa lembar kau habiskan dalam sehari. Sedangkan aku
menghabiskan satu halaman saja rasanya tak cukup sabar. Almatsurat setia kau
senandungkan di pagi dan petang. Sedangkan aku begitu sungkan membacanya saat
itu.
Kau juga tak henti berusaha
mengajakku dalam ketaatan. Kau ajak diri ini sholat berjemaah yang jarang
sekali kulakukan selain di masjid. Kau tetap saja mau menjadi makmum meskipun
bacaan surat pendekku sering salah. Kau ajak juga aku untuk saling membangunkan
saat tahajud meskipun sangat berat untuk bangun. Kulihat kau juga sering sholat
dhuha, tetapi yang itu jarang aku mengikutimu.
Terima kasih telah mengajakku dalam
kebaikan.
Kita memiliki banyak perbedaan. Kau
suka musik keras, sedangkan aku tidak. Kau lebih suka ikut lomba debat,
sedangkan aku lebih suka ikut lomba menulis. Kau sangat ingin segera bekerja di
lapangan setelah tamat, sedangkan aku ingin sekali lanjut belajar lagi ke
jenjang S2. Masih banyak perbedaan lainnya di antara kita. Namun, Allah membuat
kita bersatu karena kasih sayang-Nya.
Kau tahu, aku pun sering iri padamu?
Ya, aku sering iri melihat kau mengenakan baju-baju gamis cantik itu. Anggun
sekali. Sedangkan aku hingga sekarang memakai gamis hanya untuk momen tertentu
saja. Aku sering iri setiap melihatmu belajar. Kau tampak cepat sekali
menguasai materimu itu dan ditambah banyak wawasan baru tentang ekonomi dan
dunia modern yang kau dapat. Aku sering
iri melihatmu dengan teman yang lain berlomba untuk menhapal asmaul husna.
Sedangkan aku hanya tahu sebatas Ya Rahman Ya Rahim saja.
Terima kasih telah membuatku iri
LESHY Lovita. Sahabat dalam taat. Tanpa kau
sadari, kau memiliki peran besar terhadap jalan hijrahku. Allah menghadirkanmu dalam hidupku bukan
suatu kebetulan, melainkan sebagai perantara hidayah-Nya. Kau sering ingatkan
bahwa kita tak tahu kapan malaikat maut akan menjemput. Itu sudah cukup untuk
menyentakkan hatiku saat aku mulai jauh dari-Nya. Semoga Allah memberikan
sebaik-baiknya balasan atas segala yang telah kau lakukan.
UNI ECI. Semoga Allah selalu memberikan
hidayah kepada kita hingga akhir hayat. Walaupun kita tak dapat berjumpa,
semoga do’a-do’a kita tak pernah berhenti untuk saling menyapa. Jadikan
Robithoh pengikat hati kita. Semoga Allah izinkan kita bercerita lagi di
syurga-Nya kelak. Jangan pernah bosan untuk mengingatkan dalam kebaikan.
Tulisan ini adalah senandung rinduku
padamu. Menulis adalah caraku mengungkapkan segalanya, termasuk ungkapan
cintaku padamu, sahabat. Ana uhibbuki fillah.
Palembang, 17 September 2016
Ya Allah, sesungguhnya
Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya hati-hati kami ini, telah berkumpul
karena cinta-Mu, dan berjumpa dalam ketaatan pada-Mu, dan bersatu dalam
dakwah-Mu, dan berpadu dalam membela syariat-Mu. Maka ya Allah, kuatkanlah
ikatannya, dan kekalkanlah cintanya, dan tunjukkanlah jalannya, dan penuhilah
ia dengan cahaya yang tiada redup, dan lapangkanlah dada-dada dengan iman yang
berlimpah kepada-Mu, dan indahnya takwa kepada-Mu, dan hidupkan ia dengan
ma'rifat-Mu, dan matikan ia dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau
sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Komentar
Posting Komentar