LPDP: Do’a yang Ditunda

Memandang air sepertinya selalu menjadi penawar sedih bagiku. Berdua dengan sahabat, kami tercenung di pinggir genangan air yang menyerupai danau. Lokasinya di pinggir masjid yang tenang semestinya cukup memberikan kedamaian. Namun, kami datang dengan amarah dan hati terluka. Mengapa harus aku yang menerima kegagalan ini? Bukankah aku sudah berjuang? Pertanyaan itu kulemparkan diiringi isak tangis. Bayang-bayang perjuangan itu berkelebat membuatku semakin marah pada Tuhan.

Duduk di kelas 12 SMA akan menjadi masa penuh kegalauan. Pasalnya, harus segera memikirkan kemana langkah selanjutnya. Satu-satunya rencanaku adalah kuliah. Masalahku sama seperti kebanyakan anak Indonesia lainnya. Terbentur di dana karena berasal dari keluarga pra-sejahtera. Setelah mencari informasi sana sini, aku bertekat untuk mencari beasiswa. Pilihanku jatuh pada Beasiswa Bidikmisi. Awal kelas 12, pertualangan itu dimulai. Bolak-balik warnet (warung internet) untuk mencari informasi seputar kampus dan jurusan. Berlembar-lembar info dari website itu kucetak dan kurenungkan mana yang cocok denganku.
Pilihanku jatuh pada jurusan Pendidikan Matematika di kampus terbaik negeri ini, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Sriwijaya (Unsri). Hal inilah yang menjadi pertentangan antara aku dan guruku. Aku dinilai bermimpi terlalu tinggi, kemampuan anak daerah sepertiku tidak mumpuni untuk masuk kampus UPI. Namun, aku dengan percaya diri tetap memilih UPI karena merasa selama ini selalu belajar tanpa jeda. Bangun dini hari untuk belajar, di sekolah belajar, pulang sekolah les tambahan, malamnya pun belajar bersama teman. Aku merasa sangat pantas, tetapi aku lupa menyiapkan ruang kekecewaan di hati.

Pemilihan jurusan dan kampus sudah final, tetapi perjuangan berikutnya adalah memenuhi segala persyaratan administrasinya yang cukup banyak. Serangkaian pendaftaran dilakukan online, artinya aku harus ke warnet yang jaringan internetnya tidak terlalu baik sehingga kami harus berpindah-pindah warnet. Perjalanan itu kulakukan dengan teman sebangkuku ditambah drama kehujanan dan kepanasan. Rasanya baju kami basah-kuyup, kering lalu basah lagi di jalan.
Setelah berbagai perjuangan itu, aku dinyatakan tidak lulus baik melalui jalur undangan (tanpa tes) dan jalur SNMPTN (tes tertulis). Sebuah hasil yang tak diharapkan. Terlebih lagi, banyak teman-temanku lulus di perguruan tinggi negeri pilihan mereka. Aku? Pura-pura kuat.  Kesedihan inilah yang membawaku ke pinggir danau ini.
Peristiwa di pinggir danau itu terjadi tahun 2012. UPI dan Bidikmisi begitu membekas di hatiku, tetapi hidup harus terus berjalan. Aku memutuskan kuliah di UIN Raden Fatah Palembang. Butuh waktu cukup lama untuk bangkit dan menerima semuanya. Namun, aku terus belajar menarik hikmah dan meyakini bahwa takdir Allah selalu baik karena ada 3 cara Tuhan menjawab do’a, yaitu mengabulkan, menunda atau menggantinya. Lalu, sampailah aku pada mimpi selanjutnya “Beasiswa S2”. Tak tanggung-tanggung, aku mau ke luar negeri. Satu mantra yang kuulang-ulang adalah kalimat Pak Cik Adrea Hirata dalam buku Sang Pemimpi,”Bermimpilah. Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.” Untuk itu, kupelajari pengalaman para penerima beasiswa, kuikuti langkah mereka. Nilai IPK yang baik, juara lomba, ikut organisasi, belajar bahasa Inggris dan berbagai tips lainnya. Berhari-hari impian itu memenuhi kepalaku dan selalu mejadi jawaban setiap ditanya mau kemana setelah kuliah.
Masa itu benar-benar datang. Selepas wisuda sarjana, degan segala upaya aku bergerak mencari beasiswa. Oh Tuhaann... ternyata ini tidak mudah. Kenapa terasa berat sekali? Setelah mencoba sana-sini, kegagalan itu datang lagi. Beasiswa Turki, gagal. Coba ke Malaysia, dapat LoA, tapi terhalang restu orangtua. Bahkan keraguan mulai terbersit, ”untuk apa S2?”, “apakah aku pantas?”, “teman-teman sudah bekerja dan menikah, lalu aku masih mau sekolah?”. Syukurnya aku mau bergerak mencari tahu jawaban. Baca buku, survei di blog, nonton youtube, hingga konsul ke psikolog. (Bagian ini akan kuceritakan di tulisan berikutnya, ya.)
2019, aku mantap mendaftar beasiswa S2 LPDP, beasiswa dari Kementerian Keuangan RI yang cukup bergengsi. Seleksinya harus melewati 3 tahapan: Administrasi, Seleksi Berbasis Komputer (SBK) dan Wawancara. Setiap tahapan akan ada yang gugur. Mendebarkan. Namun, tekat itu sudah bulat: Berjuanglah hingga akhir!
Proses administrasi itu selalu melelahkan. Berbagai surat, sertifikat dan tulisan harus disiapkan. Surat sehat, surat bebas narkoba, surat rekomendasi, surat pernyataan, sertifikat  TOEFL, belum lagi harus membuat beberapa esai. Bisa jadi, hal ini membuat orang-orang enggan mencoba. Karena semua syarat itu membutuhkan biaya yang tak sedikit, tenaga hilir mudik, waktu yang tersita dan otak yang berpikir. Sebut saja, Sertifikat TOEFL, untuk mendapatkannya harus mengikuti tes bahasa Inggris seharga Rp500.000,- dan itu belum tentu nilai kita mencapai batas minimal syarat beasiswa.
September 2019, aku dinyatakan lulus seleksi administrasi. Semangat makin membara. Tahap SBK ini harus benar-benar dipersiapkan. Berdasarkan panduan, SBK dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: TPA (Tes Potensi Akademik), Psikotes, dan Essay on the Spot. Untuk persiapan TPA, aku belajar dari beberapa buku yang kubeli di toko buku dan juga hasil pinjaman dengan teman. Untuk psikotes, aku berusaha meluruskan niat dan menanamkan bahwa tujuanku agar lebih bermanfaat untuk orang banyak kelak. Persiapan Essay on the Spot yang cakupannya luas. Karena kita tak pernah tahu akan dapat topik apa. Sebelum hari H harus banyak membaca berita. Beruntungnya, ada grup telegram sesama pejuang LPDP. Adanya diskusi isu-isu terhangat di grup itu sangat membantu.
SBK dilaksanakan di beberapa kota besar. Aku memilih Jakarta karena kemudahan akses transportasi umumnya. Sebab, perjuangan ke sana akan dilakukan sebagai backpacker. Dengan anggaran dana yang terbatas, maka harus bersedia naik kereta api antar provinsi,dilanjut dengan mobil, lalu menyeberangi laut dengan kapal Feri, sambung menyambung dengan KRL dan tentunya ojek online. Melelahkan, tapi mimpi itu selalu menguatkan.
Hari tes tiba. Aku duduk di antara peserta berbaju hitam putih. Melewati serangkai proses dari antri registrasi, pemeriksaan keamanan, pengarahan, lalu menjawab soal-soal. Berkejaran dengan waktu. Bagian esai sungguh membuatku melamun lama karena aku masih meraba-raba arah pembicaraan topik esai yang diminta. Dengan pasrah, aku menulis semampuku, lalu pulang dengan tetap berprasangka baik.
Detik-detik menunggu pengumuman selalu mendebarkan. Grup Telegram ramai berbagi kegugupan. Aku hendak masuk ke kelas untuk mengajar dan kulihat grup heboh karena hasil SBK telah diumumkan. Langkahku terhenti dan duduk sebentar untuk mengecek akun. Dada bergemuruh, aku lulus tahap SBK. Kunetralisir buncah bahagiaku sebentar, kembali ke tugas mengajar.
Awal desember, aku kembali ke Jakarta. Lagi dan lagi: Backpacker. Menelusuri ibu kota di siang dan malam menjadi pengalaman tersediri bagiku. Kadang aku tak percaya diriku yang bertubuh mungil berani melakukan perjalanan seperti ini. Menerobos hujan di malam hari. Berjalan kelelahan sambil menanggung ransel berat di punggung. Biasanya orang-orang menyebut diri mereka “Scholarshir Hunter”. Adakah kelompok “Scholarship Backpacker”? Sepertinya, aku masuk barisan mereka. Tes tahap akhir adalah wawancara yang sungguh mendebarkan. Ada 2 sesi wawancara dengan durasi masing-masing sesi  maksimal 1 jam. Wawancara 1, peserta mendapat pertanyaan dari 3 orang pakar yang akan menelisik kesiapan, kemampuan akademik dan riset, jiwa pengabdian, kepribadian, rencana ke depan dan komitmen untuk Indonesia. Selama wawancara 1 ini kusadari kakiku gemetar hebat, tapi sebisa mungkin kuatur suaraku senormal mungkin. Setelah 1 jam yang luar biasa, wawancara 2 menunggu di ruangan berbeda. Peserta diuji pemahaman tetang isu yang marak diberitakan di Indonesia. Ada isu OPM di Papua, wacana larangan bercadar, pandangan tentang LGBT dan tentunya tentang Pancasila dan UUD. Wawancara ini memang bukan hal receh, serius tetapi tetap berjalan seperti diskusi yang menyenangkan. Melangkah keluar dari gedung wawancara pertanda usahaku sudah maksimal. Apapun hasilnya, akan kuterima dengan lapang dada.
Setelah tahap wawancara aku kembali ke rutinitas mengajar di bimbel. Berusaha untuk melupakan tentang LPDP sejenak, tetapi malah semakin ingat tiap detik. Hati semakin resah saat pengumuman diundur. Saban hari memantau grup agar tak ketinggal info. Siang itu, kabar pengumuman menjadi topik hangat. Aku memberanikan diri membuka akun. Menghirup udara dan menenangkan hati, Takdir allah selalu baik. Sebuah tulisan terbaca: Selamat, Anda Lulus Tahap Substansi” Mataku berkaca-kaca. Bahkan aku menangkap layar pengumuman itu, takut kalau hasilnya berubah. Haha... kekonyolan yang hakiki.
2012, aku menangis sedih tak mendapatkan beasiswa Bidikmisi dan kampus impian. 2019, aku menangis terharu karena mendapat beasiswa LPDP. Tidak untuk S1, ternyata untuk S2. Do’a meraih beasiswa dulu bukan tidak dikabulkan, hanya Allah menundanya. Satu hal lagi kuberitahu, salah satu kampus tujuanku untuk S2 adalah UPI. Ya, kampus yang 7 tahun lalu begitu kuimpikan akan kuperjuangkan lagi.
Tercapainya satu impian bukan berarti perjuangan selesai karena sejatinya setiap hari adalah perjuangan. Di depan, jalan terjal dan mendaki sudah menanti. Tapi mengingat perjuangan yang telah dilalui, aku yakin bisa tetap bertahan.

(Lebih detail tentang setiap tahapan seleksi ditulis di bagian berikutnya, ya.)
Seleksi Adminitrasi LPDP, Hanya Dokumen Tapi Ribet?


Salam Hangat,
Scholarship Bacpacker

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Rindu

Cerpen: Kebetulan

Seleksi Adminitrasi LPDP, Hanya Dokumen Tapi Ribet?